Praktisi ISO Management System and Compliance

Jakarta di Ujung Nafas: Saat Harga Beras Naik, Nasib Warga Menjerit

4 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi Beras digudang Bulog Parepare.Foto \x2013Ist.
Iklan

Harga beras, cabai, dan ayam melambung di Jakarta. Daya beli warga anjlok. Simak analisis kenaikan harga pangan dan solusi yang harus diambil.

***

Pagi itu, Bu Ida hanya membeli setengah kilogram beras. Di tangannya, kantong plastik terlihat ringsek, seolah malu membawa pulang separuh dari biasanya. “Dulu saya beli 5 kg, sekarang 1 kg aja mikir dua kali,” katanya sambil menimbang uang receh di tangan. “Cabai aja udah Rp80 ribu per kilo. Ayam potong naik tiap minggu.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di pasar tradisional Senen, Jakarta Pusat, pemandangan seperti ini bukan lagi hal langka. Pedagang sembako mengeluh karena pembeli berkurang. Ibu rumah tangga mencoret menu harian dari catatan. Anak-anak mulai jarang makan daging ayam dalam seminggu.

Jakarta, ibu kota dengan kemewahan gedung pencakar langit dan mal megah, kini sedang mengalami kelaparan tersembunyi: tidak karena tidak ada makanan, tapi karena makanan pokok sudah tak terjangkau.

 

 

Angka yang Mencengangkan: Inflasi Pangan Menggerogoti Dompet Warga

Berdasarkan data dari data.goodstats.id (September 2025), harga tiga komoditas pokok utama di DKI Jakarta mengalami kenaikan signifikan dalam 6 bulan terakhir:

 
KOMODITAS
HARGA(AGUST'24)
HARGA(SEPT'25)
KENAIKAN
Beras Premium
Rp12.500/kg
Rp17.800/kg
+42,4%
Cabai Merah Keriting
Rp48.000/kg
Rp82.000/kg
+70,8%
Daging Ayam Broiler
Rp34.000/kg
Rp47.500/kg
+39,7%

Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Mereka adalah beban nyata yang dirasakan langsung oleh jutaan warga, terutama kelas pekerja harian, buruh, ojek online, dan keluarga rentan.

Sebuah survei LPEM FEB UI (Agustus 2025) menunjukkan, 68% rumah tangga di Jakarta telah mengubah pola konsumsi karena kenaikan harga pangan. Banyak yang beralih ke beras kualitas rendah, mengurangi frekuensi makan daging, atau bahkan melewatkan satu waktu makan.

“Saya kerja ojol 12 jam sehari, bawa pulang Rp120 ribu, tapi kalau belanja beras, cabai, sama ayam aja udah habis Rp90 ribu. Sisanya buat bensin dan kontrakan,” kata Andi, pengemudi ojek online asal Cililitan.

 

Akar Masalah: Antara Produksi, Distribusi, dan Spekulasi

Lalu, mengapa harga pangan bisa melambung tinggi?

1. Gagal Panen & Cuaca Ekstrem
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, musim tanam 2025 terganggu oleh anomali cuaca — banjir di Jawa Tengah, kekeringan di Jawa Timur, dan hujan deras yang merusak lahan cabai di Bandung. Produksi beras turun 8%, cabai anjlok 22% (Kementan, 2025).

2. Rantai Distribusi yang Panjang & Rentan
Hampir 70% pasokan pangan Jakarta datang dari luar pulau: beras dari Sumatera, cabai dari Jawa Barat dan Sulawesi, ayam dari Jawa Timur. Setiap titik transit — pelabuhan, terminal, pasar induk — menambah biaya logistik, pajak, dan margin pedagang.

Belum lagi praktik penimbunan (hoarding) yang sering terjadi saat harga mulai naik. Data Satgas Pangan Polri mencatat, sepanjang 2025, sudah ada 12 kasus penimbunan beras dan cabai di gudang-gudang besar Bekasi dan Cipinang.

3. Ketergantungan Impor Ayam
Meski Indonesia produsen ayam besar, namun kebutuhan bibit (DOC) masih bergantung pada impor. Fluktuasi nilai tukar rupiah dan kenaikan harga pakan jagung impor membuat biaya produksi peternak lokal membengkak — dan otomatis ditransfer ke harga eceran.

 

Isu Hangat: Subsidi Dicabut, Rakyat Tercekik

Kenaikan harga kali ini terjadi di tengah kontroversi pencabutan subsidi listrik dan gas rumah tangga, serta belum adanya kompensasi riil bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Sebelumnya, pemerintah beralasan bahwa anggaran dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan program bantuan langsung tunai (BLT). Namun, BLT tidak cukup menutup selisih kenaikan harga pangan.

"BLT cuma Rp300 ribu per tiga bulan. Itu cuma cukup buat beli beras dua minggu," protes Siti, penjual gorengan di Pasar Minggu.

Di media sosial, tagar #RakyatKelapar sempat masuk trending Twitter, dengan ribuan warganet membagikan foto struk belanja mereka yang membengkak hingga 2–3 kali lipat.

 

Solusi yang Harus Segera Diambil

Krisis pangan bukan hal yang tidak bisa diatasi. Beberapa langkah konkret harus segera dilakukan:

 
  1. Perkuat Pasar Induk & Stabilisasi Harga
    Pemerintah perlu lebih aktif dalam operasi pasar murah, bukan hanya simbolik. Libatkan Bulog dan PD Pasar Jaya untuk menyalurkan beras medium dan cabai langsung ke warga.

  2. Gempur Penimbunan & Mafia Pangan
    Perkuat pengawasan di gudang dan jalur distribusi. Beri insentif bagi pelapor mafia pangan, seperti yang dilakukan di Thailand.

  3. Dorong Pertanian Perkotaan (Urban Farming)
    Manfaatkan rooftop, lahan kosong, dan trotoar untuk hidroponik cabai dan sayuran. Program ini sudah sukses di Surabaya dan Bandung — Jakarta harus mencontoh.

  4. Subsidi Langsung untuk Komoditas Strategis
    Alihkan sebagian anggaran proyek megah ke subsidi langsung beras, telur, dan daging ayam untuk keluarga prasejahtera — bukan lewat BLT umum, tapi lewat kartu elektronik yang hanya bisa digunakan untuk belanja pangan.

  5. Transparansi Data Harga Real-Time
    Buat aplikasi publik yang menampilkan harga harian di semua pasar Jakarta, agar warga bisa memilih tempat belanja termurah. Contoh: Harga Pangan Jakarta — seperti Gaspol di Yogyakarta.

 

 

Penutup: Makanan Pokok Bukan Barang Mewah

Di sebuah warung nasi padang di Tebet, menu "ayam goreng + nasi + sambal" kini harganya Rp28 ribu. Dua tahun lalu, hanya Rp18 ribu. Pemilik warung tidak senang menaikkan harga. Tapi ia juga harus bayar sewa, listrik, dan belanja bahan baku yang terus naik.

“Kalau saya tetap jual murah, saya bangkrut. Kalau mahal, pelanggan kabur. Kami semua terjepit,” katanya.

Kenaikan harga beras, cabai, dan ayam bukan sekadar isu ekonomi. Ini adalah soal martabat manusia. Makan adalah hak dasar, bukan kemewahan.

Ketika seorang ibu harus memilih antara membeli beras atau membayar listrik, maka sistem telah gagal.

Ketika anak-anak mulai tumbuh tanpa cukup protein karena ayam terlalu mahal, maka masa depan bangsa sedang dipertaruhkan.

Jakarta boleh saja gemerlap di malam hari. Tapi jika di dapur-dapur warganya hanya ada nasi putih dan garam, maka kota ini sedang kehilangan jiwanya.

Saatnya negara hadir bukan hanya di gedung DPR, tapi juga di meja makan rakyat kecil.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler